Foto saya
Jl. Tamansari 16, Bandung, telp. 022-4203484, Indonesia
SMKK menyediakan bahan-bahan ajar Sekolah Minggu bagi kelas Asuhan (1-3th), Indria (4-6th), Pratama (7-9th), Madya (10-12 th), Tunas Muda (13-15th), Remaja (16-19th), Pemuda (20-27th), Dewasa (28-54th), dan Senior/Lansia (55th ke atas). Bahan ajar terdiri atas Buku Murid dan Buku Petunjuk Guru, dan terbit setiap triwulan. Jika Anda ataupun SM di gereja Anda membutuhkan bahan ajar yang berkualitas, silakan hubungi kami.

Guru Sekolah Minggu

Guru sekolah minggu merupakan faktor penting dalam pendidikan Kristen yang efektif. Barangkali dari semua orang dalam gereja, ia memunyai lebih banyak kesempatan untuk menyalurkan kehidupan Kristus dan kehidupannya sendiri kepada orang-orang. Umumnya, ia memunyai hubungan yang terdekat dengan murid dalam pengalaman gerejawi murid. Tidak usah heran jika murid mencontoh ia. Bagaimanakah seorang guru dapat menjadi teladan yang layak? Ia harus berusaha menjawab pertanyaan ini dengan terus terang dan dengan tulus.

KEDUDUKAN SEORANG GURU
Pertama-tama, seorang guru harus menginsafi kedudukannya yang tinggi. Hak mengajar di sekolah minggu itu penting karena merupakan satu pelayanan yang suci. Ketika seorang guru menyadari hal tersebut, ia memperkuat sikapnya sebagai guru dan akan mendapat penghormatan dan tanggapan yang lebih besar dari kelasnya.
Seorang guru menunjukkan jalan menuju iman Kristen. Syarat mutlak yang pertama bagi seorang guru adalah pengalaman kelahiran baru yang kemudian diikuti oleh kehidupan yang suci. Persekutuannya dengan Allah membuktikan besarnya berkat dalam hal menjadi seorang Kristen. Para guru sekolah minggu memunyai lebih banyak kesempatan daripada kebanyakan orang untuk memenangkan jiwa-jiwa yang kekal kepada Kristus karena Injil yang mereka ajarkan itu adalah pusat iman Kristen.
Seorang guru memengaruhi pertumbuhan Kristen. Pendidikan Kristen diterangkan sebagai "hal membimbing pelajar melalui pengalaman-pengalaman kebenaran ke dalam kehidupan pelayanan yang memuliakan Allah". Dikatakan bahwa pendidikan Kristen memunyai hubungan dengan hal membangunkan, menanamkan, menolong, mengilhami, membetulkan, dan membimbing. Sebagai seorang anggota gereja yang berserah, seorang pelajar Alkitab yang teliti, seorang pelayan Kristen yang setia, guru memiliki kesempatan untuk memimpin murid-muridnya dalam hal menjadi orang Kristen yang dewasa, yang menyatakan Kristus kepada dunia ini.


SIAP MENGAJAR
Tampaknya guru-guru yang berhasil adalah mereka yang memiliki kecakapan untuk mengajar. Namun, pengajaran yang berhasil terbit dari mendisiplin diri dalam hal belajar dan persiapan pribadi. Persiapan dasar bagi seorang guru sekurang-kurangnya harus meliputi hal-hal berikut:

1. Pengetahuan Alkitab
Karena Alkitab merupakan buku pegangan yang terpenting dalam sekolah minggu, guru harus paham mengenai isinya. Ia harus mengusahakan dirinya untuk mempelajari Alkitab dengan sungguh-sungguh dan sistematis. Misalnya, untuk mengerti pelayanan Yesus, bukan saja pokok-pokok utama dari pengajaran-Nya yang harus diketahui, tetapi juga keadaan sosial, politik, ekonomi, dan rohani yang menjadi latar belakang seluruh pelayanan Yesus di bumi. Bagaimanakah hal-hal ini memengaruhi tindak-tanduk-Nya? Atau bagaimanakah kehidupan pada zaman Yesaya, Yeremia, atau Yehezkiel? Pada saat apa dalam sejarah bangsa Yahudi, mereka bernubuat? Penelaahan Alkitab sedemikian itu tidak dilakukan sebagai ibadah pribadi, itu merupakan satu usaha sistematis untuk memahami arti Alkitab dan menguasai isinya. Ketika seseorang melakukan hal ini, pengajarannya menjadi makin berkuasa dan Alkitab menjadi lebih nyata dalam pikiran murid-murid.
2. Teologi
Kadang-kadang orang memikirkan teologi sebagai satu pelajaran yang rumit. Pelajaran ini tampak kepada mereka sebagai satu campuran teori dan pikiran-pikiran yang abstrak dan kabur. Sebenarnya, setiap orang memiliki teologi, yakni sesuatu yang dipercayainya mengenai kebenaran Kristen. Kepercayaannya mungkin tidak tersusun dan ia mungkin tidak dapat menyatakannya dengan jelas; walaupun demikian, ia yakin bahwa semua yang dipercayainya itu benar. Dalam hal mengajar, bilamanapun seorang guru berbicara tentang Allah, tentang Yesus, Alkitab, kasih, dan iman, ia sedang mengajarkan teologi. Betapa pentingnya kesesuaian pengajarannya itu dengan pengajaran-pengajaran Alkitab dan apa yang dipercayai gerejanya.
3. Sifat-Sifat Kelompok Usia
Pengajaran itu efektif bila dilakukan dengan mengingat minat, keperluan, dan sifat-sifat murid. Dalam hal mengajar di sekolah minggu, banyak anggota kelas tertinggal sementara guru maju dalam suatu perjalanan rohani karena guru tidak memulainya pada tingkat pengertian si murid. Para guru yang mengajar anak-anak harus mempertimbangkan tingkat perkembangan murid-muridnya agar tidak mengajarkan konsep-konsep agama yang tidak mungkin dipahaminya. Para guru orang dewasa harus memastikan bahwa mereka memberi pengajaran yang cukup dalam yang perlu bagi pendewasaan kelas itu.
4. Teknik Mengajar
Penggunaan teknik-teknik dengan bijaksana akan menjadikan pengetahuan Alkitab lebih berarti dan tetap. Hukum dasar dalam hal belajar adalah bahwa pengajaran itu lebih berhasil bila para murid melibatkan diri dan saling memengaruhi. Jadi, seorang guru harus mengetahui teknik-teknik manakah yang akan menerbitkan tanggapan terbaik atas suatu kebenaran pelajaran yang diberikan. Ia juga harus mengetahui batas-batas dari bermacam-macam teknik itu, cara untuk menyesuaikannya dengan kesanggupan kelompok usia itu, dan bagaimana waktu serta ruangan yang tersedia memengaruhi pemilihan suatu metode mengajar. Misalnya, seorang guru tidak menceritakan sebuah cerita dalam cara yang sama dalam kelas kanak-kanak dan kelas tunas remaja; ia juga tidak akan memisah-misahkan kelas itu dalam beberapa kelompok diskusi jika hanya ada lima atau enam murid yang hadir dalam kelas itu.


HAL MENYIAPKAN DAN MENYAMPAIKAN PELAJARAN
Persiapan seorang guru berpusat pada dua hal -- yang pertama adalah Alkitab, dan yang kedua adalah murid serta kebutuhannya.


1. Isi pelajaran berpusat pada Alkitab
Yang menjadi perhatian guru dalam hal ini adalah "Apa yang dikatakan Alkitab?" Ia harus mengetahui tokoh-tokoh Alkitab, apa yang mereka lakukan, dan di mana serta kapan mereka melakukannya. Biarpun cerita atau kebenaran asasi itu sudah lazim bagi guru, ia harus selalu bertanya kepada dirinya: "Terdapat pelajaran apakah bagi saya pribadi di sini?" sambil mengizinkan Roh Kudus menyatakan penerapan yang baru baginya. Lalu ia akan mempelajari pelajaran itu dari segi pandangan murid, lagi pula menyadari bahwa pandangan seorang anak kelas satu SD akan jauh berbeda dari seorang remaja.
2. Penerapannya berpusat pada murid
Bila guru hanya memerhatikan apa yang dikatakan Alkitab, pelajaran akan menjadi terlalu teoritis dan tidak berhubungan dengan soal-soal kehidupan yang sedang dihadapi oleh anggota-anggota kelas. Jadi, guru harus memikirkan apa yang diperlukan murid-muridnya dan menyusun suatu tujuan pelajaran yang akan memimpin ia untuk memberi pelajaran yang sesuai dengan kebutuhan dan pengertian mereka. Dalam hal menyusun tujuan-tujuan pelajaran, perlu diingat bahwa tujuan pelajaran harus cukup singkat supaya dapat diingat, cukup jelas supaya dapat dicatat, cukup terbatas supaya dapat dicapai, dan cukup bersifat pribadi supaya dapat mengubahkan hidup. Setelah mempelajari bahan-bahannya dan menentukan metodenya, guru perlu membuat suatu rencana pelajaran. Rencana pelajaran itu makin menolong ia mengatur bahannya dan menyajikan pelajarannya dengan lebih efektif.


Seluruh persiapan pelajaran memuncak dalam penyajian pelajaran. Pada saat inilah para murid dipimpin dan digerakkan. Meskipun guru telah merencanakan dengan teliti dan merasakan sebelumnya apa yang akan menjadi tanggapan kelasnya, ia tahu bahwa ia harus menyisihkan apa pun yang perlu untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang tak disangka-sangka, untuk mengubah satu kehidupan meskipun ia tidak menyampaikan seluruh pelajarannya! Teknik mengajar yang bermacam-macam itu memungkinkan seorang guru menyesuaikan pengajarannya dengan keadaan kelasnya.


GURU SEBAGAI ANGGOTA TIM
Sebagai seorang guru sekolah minggu, ia menjadi seorang pemimpin di gereja. Sebagai pemimpin, ia bertanggung jawab memelihara hubungan-hubungan yang berikut.

1. Gembala sidang dan gereja. Dengan pelajaran dan teladannya, guru harus memengaruhi murid-murid untuk menaruh kepercayaan di dalam gembala sidang dan majelis gereja. Ia harus menjadi seorang yang tetap menghadiri kebaktian.
2. Kepada pemimpin dan staf sekolah minggu. Ia harus selalu menyadari bahwa ia adalah anggota sebuah tim. Jika ia cenderung untuk memikirkan kelasnya sebagai semacam "gereja" kecil miliknya sendiri, tanpa disadarinya, ia menabur benih-benih suatu keadaan yang tidak sehat. Usaha kerja sama merupakan jalan untuk membangun sebuah sekolah minggu dan dengan demikian, membangun kerajaan Allah. Guru harus berunding dengan pemimpinnya mengenai persoalan-persoalannya. Ia harus memberikan bantuan sepenuhnya untuk proyek-proyek sekolah minggu dan dengan tetap menghadiri rapat-rapat pekerja serta pertemuan-pertemuan sekolah minggu lainnya. Ia harus mengindahkan guru-guru lain serta usaha mereka. Para guru hendaknya bekerja bahu-membahu untuk melaksanakan sebaik-baiknya tugas mereka di bidang pendidikan Kristen bagi murid-murid yang ada di bawah didikan mereka.
3. Kepada murid-muridnya. Sokrates, salah seorang guru besar di dunia, tak pernah mengizinkan dirinya disebut sebagai guru. Ia menganggap para pelajar mudanya sebagai rekan, bukan pelajar atau murid. Bagi Sokrates hal mengajar berarti membangkitkan pikiran, menggiatkan pikiran-pikiran yang tumpul. Tujuan seorang guru adalah menggerakkan murid-muridnya ke suatu pengalaman sejati mengenai pertobatan dan menyediakan pimpinan dan asuhan untuk perkembangan selanjutnya menuju ke persekutuan dengan Kristus yang bermakna dan dewasa. Hal ini mencakup doa, kunjungan, bimbingan, perhatian yang aktif dalam kesejahteraan pribadi dan rohani setiap murid.


Telah dikatakan bahwa pendidikan umum berusaha menyampaikan pengetahuan kepada manusia; pendidikan Kristen berusaha membentuk manusia. Pernyataan itu sangat menekankan pentingnya guru sekolah minggu.


Sumber:
Buku Pintar Sekolah Minggu jilid 2, , halaman 217 -- 219, Yayasan Penerbit Gandum Mas, Malang, 1996.

Bagaimana Memulai Bercerita?

Jangan terburu-buru. Tempo merupakan hal yang penting dalam menciptakan cerita yang bagus seperti halnya dalam menciptakan lagu yang baik. Kecenderungan untuk terburu-buru sering terjadi pada awal bercerita, ini disebabkan oleh rasa takut yang mendorong kita untuk terburu-terburu, misalnya saat mengatakan, "Mari segera kita selesaikan kegiatan ini." Berikan jeda supaya cerita Anda terdengar alami/natural. Seperti rancangan sebuah iklan yang baik, jarak antarhuruf sering kali sama pentingnya dengan kata-kata itu sendiri. Jeda menimbulkan rasa ketertarikan untuk membangun dan membuat imajinasi pendengar melayang.
  1. Hindari penggunaan alat-alat yang justru merusak cerita. Penggunaan alat peraga yang terlalu banyak justru tidak membantu dalam membuat cerita menjadi menarik, tetapi malah menghalangi komunikasi yang alami antara pencerita dengan pendengarnya. Salah satu alat peraga yang sering digunakan, yaitu peraga dari kain flanel, sangat tidak efektif untuk digunakan. Ketika pencerita menempatkan peraganya di papan, maka hilanglah kontak mata dengan pendengarnya. Saya biasa menggunakan rompi dari flanel bila mendapat kesempatan untuk menyampaikan cerita. Dengan menggunakan rompi ini, saya bisa menempelkan peraga di rompi saya sambil memandang pendengar sehingga saya tidak kehilangan kontak mata dengan mereka. Meskipun rompi bisa memberi nilai lebih pada penampilan, sering kali saya merasa rompi bisa menjadi cara untuk menjalin kontak antara pencerita dan pendengar.
  2. Bila Anda menggunakan sebuah gambar, lebih baik Anda menggunakan gambar abstrak supaya menimbulkan rangkaian imajinasi. Meskipun saya enggan menggunakan gambar, namun saya pernah harus menunjukkan foto Martin Luther pada hari Minggu Reformasi. Saya melihat anak-anak menganggap saya sedang bercerita tentang tokoh besar pembela hak asasi itu. Sejak saat itu, saya hanya menunjukkan gambar sesaat sebelum saya mulai bercerita, kemudian saya simpan gambar itu ketika saya menyampaikan cerita.
    Hindari menggurui atau menempatkan ajaran-ajaran moral dalam cerita Anda. Tidak ada yang bisa dengan cepat membuyarkan cerita Anda selain menyertakan ajaran moral itu beserta penjelasannya. Bila Anda menghormati pendengar Anda, cukup sampaikan cerita itu kepada mereka. Hormati mereka dengan membiarkan mereka menggambarkan sendiri kesimpulannya. "Mereka yang memunyai telinga, biarkanlah mendengar." Bila suatu diskusi bisa membantu mengembangkan cerita, menurut pendapat saya, pencerita diizinkan untuk membuat diskusi, tetapi tidak lagi memunyai kekuasaan untuk mengarahkan interpretasi orang lain. Tidak seperti seorang guru yang menyampaikan pelajarannya, cerita memunyai keberadaannya sendiri.
  3. Jangan membuat ilustrasi cerita yang membingungkan. Ilustrasi-ilustrasi saja tidaklah cukup; ilustrasi itu menunjukkan makna yang lebih besar. Cerita memiliki arti tersendiri. Dengan luar biasa, Yesus "menjelaskan" perumpamaan-perumpaman-Nya dan dalam beberapa saat kemudian Ia hanya memberikan suatu permintaan. (t/Ratri)

Sumber:
Speaking in Stories, William R. White, , Artikel The Appeal of Storytelling; Resources for Christian Storytellers, halaman 17 -- 20, Augsburg Publishing House, Minneapolis 1982.