Foto saya
Jl. Tamansari 16, Bandung, telp. 022-4203484, Indonesia
SMKK menyediakan bahan-bahan ajar Sekolah Minggu bagi kelas Asuhan (1-3th), Indria (4-6th), Pratama (7-9th), Madya (10-12 th), Tunas Muda (13-15th), Remaja (16-19th), Pemuda (20-27th), Dewasa (28-54th), dan Senior/Lansia (55th ke atas). Bahan ajar terdiri atas Buku Murid dan Buku Petunjuk Guru, dan terbit setiap triwulan. Jika Anda ataupun SM di gereja Anda membutuhkan bahan ajar yang berkualitas, silakan hubungi kami.

Bagaimana Memulai Bercerita?

Jangan terburu-buru. Tempo merupakan hal yang penting dalam menciptakan cerita yang bagus seperti halnya dalam menciptakan lagu yang baik. Kecenderungan untuk terburu-buru sering terjadi pada awal bercerita, ini disebabkan oleh rasa takut yang mendorong kita untuk terburu-terburu, misalnya saat mengatakan, "Mari segera kita selesaikan kegiatan ini." Berikan jeda supaya cerita Anda terdengar alami/natural. Seperti rancangan sebuah iklan yang baik, jarak antarhuruf sering kali sama pentingnya dengan kata-kata itu sendiri. Jeda menimbulkan rasa ketertarikan untuk membangun dan membuat imajinasi pendengar melayang.
  1. Hindari penggunaan alat-alat yang justru merusak cerita. Penggunaan alat peraga yang terlalu banyak justru tidak membantu dalam membuat cerita menjadi menarik, tetapi malah menghalangi komunikasi yang alami antara pencerita dengan pendengarnya. Salah satu alat peraga yang sering digunakan, yaitu peraga dari kain flanel, sangat tidak efektif untuk digunakan. Ketika pencerita menempatkan peraganya di papan, maka hilanglah kontak mata dengan pendengarnya. Saya biasa menggunakan rompi dari flanel bila mendapat kesempatan untuk menyampaikan cerita. Dengan menggunakan rompi ini, saya bisa menempelkan peraga di rompi saya sambil memandang pendengar sehingga saya tidak kehilangan kontak mata dengan mereka. Meskipun rompi bisa memberi nilai lebih pada penampilan, sering kali saya merasa rompi bisa menjadi cara untuk menjalin kontak antara pencerita dan pendengar.
  2. Bila Anda menggunakan sebuah gambar, lebih baik Anda menggunakan gambar abstrak supaya menimbulkan rangkaian imajinasi. Meskipun saya enggan menggunakan gambar, namun saya pernah harus menunjukkan foto Martin Luther pada hari Minggu Reformasi. Saya melihat anak-anak menganggap saya sedang bercerita tentang tokoh besar pembela hak asasi itu. Sejak saat itu, saya hanya menunjukkan gambar sesaat sebelum saya mulai bercerita, kemudian saya simpan gambar itu ketika saya menyampaikan cerita.
    Hindari menggurui atau menempatkan ajaran-ajaran moral dalam cerita Anda. Tidak ada yang bisa dengan cepat membuyarkan cerita Anda selain menyertakan ajaran moral itu beserta penjelasannya. Bila Anda menghormati pendengar Anda, cukup sampaikan cerita itu kepada mereka. Hormati mereka dengan membiarkan mereka menggambarkan sendiri kesimpulannya. "Mereka yang memunyai telinga, biarkanlah mendengar." Bila suatu diskusi bisa membantu mengembangkan cerita, menurut pendapat saya, pencerita diizinkan untuk membuat diskusi, tetapi tidak lagi memunyai kekuasaan untuk mengarahkan interpretasi orang lain. Tidak seperti seorang guru yang menyampaikan pelajarannya, cerita memunyai keberadaannya sendiri.
  3. Jangan membuat ilustrasi cerita yang membingungkan. Ilustrasi-ilustrasi saja tidaklah cukup; ilustrasi itu menunjukkan makna yang lebih besar. Cerita memiliki arti tersendiri. Dengan luar biasa, Yesus "menjelaskan" perumpamaan-perumpaman-Nya dan dalam beberapa saat kemudian Ia hanya memberikan suatu permintaan. (t/Ratri)

Sumber:
Speaking in Stories, William R. White, , Artikel The Appeal of Storytelling; Resources for Christian Storytellers, halaman 17 -- 20, Augsburg Publishing House, Minneapolis 1982.